Catatan Perjalanan Mongolia (21): Menjelajahi Dunia Stepa, suatu Pengalaman Mengesankan

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Boleh jadi ini pengalaman baru dan mengesankan, menjelajahi dunia stepa—dunia yang sebelumnya hanya kukenal lewat peta dan ilmu bumi. 

Heran memang, bagaimana bisa aku sampai di sini? Di negeri dengan langit yang begitu rendah, seakan siap menyentuh kepala bagi siapa pun yang berani menatapnya terlalu lama.

Di tanah yang tampak kosong ini, aku justru merasa penuh. Di padang tak berujung ini, aku merasa kecil… tapi juga utuh. 

Aneh rasanya—aku tidak tahu apa yang kucari, tapi tetap merasa seperti telah menemukan sesuatu.



Aku datang ke Mongolia pada awal Juli, berharap dapat menyaksikan keindahan alam stepa dengan rumput menghijau. 

Namun, kenyataannya rumput masih menguning. Angin bertiup malas, dan langit merunduk rendah. 

Aku merasa harus buru-buru datang—seolah ada sesuatu yang akan hilang jika musim berganti.

Saya melihat gembala menggelodongkan kambing, kuda, dan domba mencari makan di padang rumput yang menguning. 

Aku penasaran bagaimana mereka mengatur kehidupan sehari-hari di tengah keterbatasan sumber daya alam.



Aku juga ingin tahu mengapa ibu warga lokal gunung pada pagi hari memungut segumpal kotoran ternak yang sudah kering di padang rumput dengan telanjang tangan.

Ternyata, kotoran ternak yang disebut argol ini dipakai sebagai bahan energi untuk tungku yang dibakar. 

Ini menunjukkan bagaimana masyarakat lokal memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Mereka tidak perlu membeli makanan pakan ternak, karena kotoran hewani yang bercampur dengan rumput kering telah menjadi sumber daya yang berharga.

Bagi penggembala, ternak adalah segala galanya. Semakin banyak hewan yang dipiara, semakin mampu dianggap penggembala.

Maka tak heran dalam suatu acara perayaan, persembahan domba, sapi, dan kuda merupakan suatu simbol kesuksesan dan kemakmuran.

Aku merasa kagum dengan kehidupan masyarakat lokal yang sederhana namun penuh makna. 


Tapi aku rada bingung melihat keluarga gunung. Mereka mampu menternak ratusan ekor domba, sapi, dan kuda.

Anehnya, sebuah bangunan seperti WC atau toilet yang layak tak tersentuh di bumi padang rumput.

Mungkin mereka merasa tak butuh atau mungkin juga mereka pikir WC alam lebih indah dari sebuah toilet permanen. 

Sebuah gubuk WC dengan pemandangan alam terbuka menghadap gunung Altai, lebih mewah dari kotak bangunan tertutup.


Boleh jadi ini suatu kebiasaan dan budaya yang sampai saat ini belum terhapuskan, meskipun dunia modern telah merasuk ke desa-desa. Di desa Altai, masih seperti dulu.***

Post a Comment