Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Suatu saat aku bermimpi aku kembali ke Mongolia. Aku melihat padang rumput berubah menjadi hamparan aspal yang meluas.
Padang—yang dahulu kadang hijau, kadang kuning, bergantung musim—kini tak tampak lagi.
Yang terlihat hanya sebarisan jalan darat, lurus dan panjang, memotong lanskap seperti luka pada tanah.
Binatang ternak—domba, kambing, kuda—yang dulu merumput bebas di bawah langit biru, kini berganti dengan deru mesin mobil bermerek asing.
Suara alam tergantikan oleh klakson dan musik dari layar LED yang menggantung di tiang listrik.
Barangkali ini karena investasi, yang menggantikan hamparan rumput hijau menjadi deretan mesin berbunyi tuk tak tuk tak tanpa henti.
Yurt-yurt yang dulu berdiri membisu di tengah dataran, dibalut salju dan kesederhanaan, kini berubah warna dan bentuk.
Beberapa dicat mencolok, lainnya diubah menjadi penginapan Instagramable dengan jendela kaca dan papan nama beraksara asing.
Tulisan pun bukan lagi huruf Mongolia yang melengkung anggun. Semuanya berganti dengan aksara Korea dan Inggris—terasa asing di tengah padang yang seharusnya sunyi.
Aku bertanya dalam hati, apakah ini sebuah ekspansi baru, atau bentuk modernisasi antarnegara?
Apakah padang rumput harus berubah menjadi hotmix buatan luar negeri?
Apakah modernitas memang harus datang dengan harga hilangnya keheningan dan jejak budaya?
Aku tak tahu pasti jawabannya. Tapi dalam mimpi itu, Mongolia terasa seperti negeri yang perlahan kehilangan nadinya.
Sebuah negeri yang dulu mengajarkan makna ruang dan waktu yang luas—kini terasa sesak oleh kecepatan dan konsumsi.
Aku yakin, Mongolia bukan negara K-Pop nation, dan tak berbahasa Korea. Padang stepanya juga bukan jalan aspal mulus yang menghubungkan satu tol dengan tol lain, bukan pula jalan berliku yang menembus gunung dan bebatuan.
Padang stepa adalah ruang terbuka yang harus dijaga kesuciannya. Ia bukan tempat bagi mesin cetak uang, bukan panggung bagi ego modernitas.
Ia adalah tanah yang perlu dijaga keasliannya—meski pelan, dan lamban, dia berubah arah.
Tapi di balik semua itu, bayang-bayang patung Genghis Khan menunggang kuda masih berdiri tegak.
Jiwanya masih menjagai Mongolia, meski zaman berusaha menghapus jejaknya.***
Posting Komentar