Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Musik hanya gema di kepala. Tak ada suara berbisik-bisik.
Aku yakin sepagi ini orang masih mimpi.
Tapi aku terjaga, dan yang kudengar bukan alarm atau suara TV, melainkan ingatan yang memutar ulang langkah-langkah kuda, suara angin, dan dendangan kesepian yang tak terasa sunyi.
Kini bukan di Mongol lagi.
Suara senyap pun tak terdengar lagi. Malam pun tak bersatu dengan hewan-hewan yang bermimpi.
Tak ada desah nafas unta di kejauhan. Tak ada bayangan kuda di balik kabut pagi.
Yang tersisa hanya dengung kulkas, suara kipas angin, kompresor pendingin serta sisa hujan semalam yang tak sempat membasahi jalan.
Jalanan penuh dengan mobil saling mendahului. Tak jarang polisi berdiri tanpa instruksi.
Tak peduli meskipun mobil merayap dengan maju mundur. Seolah itu bukan kewajiban yang harus dipeduli.
Gedung- gedung tinggi hanya menyapa dengan pasrah. Karena itu bukan kewajiban, hanya basa basi.
Orang berjalan tanpa tujuan, bahkan merasa kecewa, karena bagaimanapun—hidup pun harus dijalani.
Seperti jarum jam yang terus berputar, bukan karena ingin, tetapi karena tak bisa berhenti.
Aku terdiam membaca sebaris kalimat: ‘Bagaimanapun kita telah dilahirkan, hidup ini bukan untuk dipilih, tapi untuk dijalani sepenuh hati.’***
إرسال تعليق