Catatan Perjalanan Mongol (29): Suara Alam, Musik Tanpa Rekaman

Oleh: Iman Sjahputra 

JAKARTA - Aku tak lupa, selalu ingat. Aku telah pulang ke rumah. Rumah yang kutempati.

Namun pagi tak ada suara sapi mendengkur. Tak ada kambing mengembek.

Sepi bukan karena kesunyian. Senyap bukan karena tanpa kegiatan. Tapi karena ada sesuatu yang hilang.

Di Mongolia, musik bukan alat-alat mainan duniawi. Bukan dari radio, bukan dari speaker. Melainkan dari detak langkah kuda.

Suara yang tak berima dan tak punya aturan. Suka-suka.

Kadang ritmenya cepat. Kadang lambat, nyaris tak terdengar.

Kadang menghentak seperti gendang, kadang lirih seperti desah napas.

Semuanya tergantung pada pengais kuda—dia penentu tempo, meski tanpa sadar jadi pemusik padang luas.

Di sana, detakan langkah kuda bukan seperti nada-nada piano bermerek Yamaha.

Tinggi dan rendahnya tak berurutan. Tak disusun dalam tangga nada.

Tak bisa dinotasi. Tapi justru karena itulah—ia hidup.

Ia bebas. Ia liar.

Dan mungkin… lebih jujur dari musik manapun yang pernah kudengar.

Mungkin aku bingung suara langkah kuda. Aku pun coba merasakan. Detak detak langkah kuda membuat jantungku berdebar.

Akupun bukan takut karena terjatuh dari kuda. Meskipun kuda yang ku tunggang jalannya tunggang langgang.

Aku sadar aku bukan di rumah. Aku di padang rumput yang membahana. Di situ tak ada suara musik. 

Tak bisa didengar, hanya bisa dirasakan angin melambai, rumput yang bergoyang atau air sungai yang meriak.

Kini aku sadar, aku tidak lagi di padang stepa.

Aku di rumah—di mana musik terdengar jernih dari loudspeaker buatan Jerman. Suara disusun, diatur, dimodulasi.

Bukan lagi dari angin yang berderu, bukan dari rumput yang menari, atau air sungai yang mengalir pelan di sela bebatuan. Tapi dari suara kuali yang berdentuman di dapur.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut