Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Tak biasa aku jalan-jalan makan daging sebanyak ini. Kali ini di Mongolia, aku baru sadar “daging di sini adalah segala-galanya.”.
Mau daging apa? Serba ada. Seolah-olah, Mongolia adalah supermarket jalanan dengan etalase terbuka padang rumput.
Di mana-mana daging adalah makanan prima. Daging domba tak kekurangan. Daging kambing tak usah dibicarakan.
Daging kuda tak kehabisan. Dan macam-macam. Segala tersedia di padang stepa.
Di Altai, angin bertiup kencang, namun di balik tenda, kuah rebus mendidih, warga sedang merebus daging domba atau mungkin kuda.
Tak ada yang komplain meskipun aromanya mengepul di udara. Sudah biasa, orang tradisional mongol memasak asal jadi.
Daging kambing tanpa bumbu, merica dan rempah. Rasanya beda seperti makan daging tak terasa, hambar.
Aku juga sempat terdiam, bingung tanpa kata, ketika melihat orang-orang Mongolia berkumpul mengelilingi satu kuali besar berisi daging rebus.
Mereka ramai-ramai menguliti daging, berebutan mencabut bagian empuk, seolah-olah belum pernah makan daging sebelumnya.
Ada yang langsung menarik paha kambing.
Ada yang dengan lincah mengambil potongan daging dari bagian perut.
Yang paling membuatku tertegun, lemak tebal yang menggumpal di paha atas kambing.
Dikupas lembar demi lembar. Lalu dimakan begitu saja. Perlahan dengan nikmat.
Pikiranku menjadi teka teki, kata dokterku, daging kambing jangan makan banyak.
Kolestrol kali, mencicipi daging kambing panggang, rebusan atau kuah-kuahan sup bisa timbul beraneka ragam penyakit.
Kontrasnya di sini orang Mongol tiap hari makan daging kambing. Enak, sedap, mungkin tak apa-apa. Tetap kuat.
Tapi Lembaga WHO( World Health Organization) menyatakan bahwa penderita darah tinggi di Mongolia adalah sekitar 23,6 persen untuk orang dewasa.
Mungkin orang Mongol lebih kuat karena hidup di dataran tinggi, ditiup angin dan dibalut dengan salju.
Mungkin juga karena hidup keras, berjuang dengan cuaca yang tak menentu arahnya. Mereka berjuang untuk hidup.***
Posting Komentar